Al Ikhwan Al Muslimun
Anugerah Alloh yang Terzalimi
Pengantar
“Hai orang- orang beriman bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Alloh memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al- Ahzab: 70- 71)
Misalnya, di tengah gerakan protes terhadap aliran sufisme (tasawuf) dalam Islam, Hasan Al Banna tidak hanya melihat sisi negatif pemikiran dan perilaku kaum sufi, Ia melihat secara bijak. Sufisme memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ia mengambil sisi kelebihan kaum sufi seperti kecintaan kepada hikmah, penyucian diri (tazkiatunnafs), dan ketaatan para pengikutnya kepada mursyid (pembimbing) mereka. Sisi positif tersebut diambil dan diterapkan. Salah satu prinsip dakwahnya dengan pendekatan thariqah shuffiyah. Bahkan, sistem kepemimpinan dalam struktur organisasi yang ia bangun menggunakan istilah-istilah sufi seperti panggilan mursyid untuk ketua organisasi. Kemampuan beliau dalam mempertemukan dua pemahaman tekstual dan kontekstual merupakan anugerah Alloh SWT yang memperkuat kebijaksanaan dalam memecahkan masalah. Sehingga, para kadernya mampu mempertemukan kembali kelompok yang qunut dan tidak qunut dalam sholat shubuh, kelompok yang shalat tarawih delapan rakaat dan dua puluh rakaat. Mereka semua bersatu membangun ummah yang toleran dan bijak. Mereka bersatu melawan bid’ah yang disepakati seperti perpecahan dan kezaliman akibat dominasi kekafiran, kezaliman, dan kemaksiaatan.
Tentang nasionalisme dalam pandangan Hasan Al Banna adalah tidak mengenal batas tanah air, kesukuan, atau kebangsaan berdasarkan ras dan keturunan. Akan tetapi, nasionalisme merupakan kebangsaan yang dipertemukan kesatuan aqidah dan islam, seluruh orang beriman dan muslim adalah satu bangsa, apapun suku, ras, dan warna kulit mereka. Kebijaksanaan seperti inikah yang kerap kali disalahpahami sebagai penyimpangan pemikiran Hasan Al Banna dan kader-kader Ikhwanul Muslimun seperti Sayyid Quthb dan Yusuf Qardhawi ?
Buku ini adalah refleksi tanggung jawab, yang melihat perlunya meluruskan sejarah secara bijak. Buku cetakan kedua ini, terdiri dari IX bab, meliputi Anugerah yang terzalimi, Hujatan terhadap Ikhwan dan manhajnya, Hujatan terhadap tokoh-tokoh Ikhwan, Hasan Al Banna dan para penghujatnya, Sayyid Quthb dan para penghujatnya, Syaikh Muhammad Al Ghazaly dan para penghujatnya, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan para penghujatnya, Akhlak islami dalam ikhtilaf, dan Penutup.
Anugerah Alloh yang Terzalimi
Pengantar
“Hai orang- orang beriman bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Alloh memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al- Ahzab: 70- 71)
Misalnya, di tengah gerakan protes terhadap aliran sufisme (tasawuf) dalam Islam, Hasan Al Banna tidak hanya melihat sisi negatif pemikiran dan perilaku kaum sufi, Ia melihat secara bijak. Sufisme memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ia mengambil sisi kelebihan kaum sufi seperti kecintaan kepada hikmah, penyucian diri (tazkiatunnafs), dan ketaatan para pengikutnya kepada mursyid (pembimbing) mereka. Sisi positif tersebut diambil dan diterapkan. Salah satu prinsip dakwahnya dengan pendekatan thariqah shuffiyah. Bahkan, sistem kepemimpinan dalam struktur organisasi yang ia bangun menggunakan istilah-istilah sufi seperti panggilan mursyid untuk ketua organisasi. Kemampuan beliau dalam mempertemukan dua pemahaman tekstual dan kontekstual merupakan anugerah Alloh SWT yang memperkuat kebijaksanaan dalam memecahkan masalah. Sehingga, para kadernya mampu mempertemukan kembali kelompok yang qunut dan tidak qunut dalam sholat shubuh, kelompok yang shalat tarawih delapan rakaat dan dua puluh rakaat. Mereka semua bersatu membangun ummah yang toleran dan bijak. Mereka bersatu melawan bid’ah yang disepakati seperti perpecahan dan kezaliman akibat dominasi kekafiran, kezaliman, dan kemaksiaatan.
Tentang nasionalisme dalam pandangan Hasan Al Banna adalah tidak mengenal batas tanah air, kesukuan, atau kebangsaan berdasarkan ras dan keturunan. Akan tetapi, nasionalisme merupakan kebangsaan yang dipertemukan kesatuan aqidah dan islam, seluruh orang beriman dan muslim adalah satu bangsa, apapun suku, ras, dan warna kulit mereka. Kebijaksanaan seperti inikah yang kerap kali disalahpahami sebagai penyimpangan pemikiran Hasan Al Banna dan kader-kader Ikhwanul Muslimun seperti Sayyid Quthb dan Yusuf Qardhawi ?
Buku ini adalah refleksi tanggung jawab, yang melihat perlunya meluruskan sejarah secara bijak. Buku cetakan kedua ini, terdiri dari IX bab, meliputi Anugerah yang terzalimi, Hujatan terhadap Ikhwan dan manhajnya, Hujatan terhadap tokoh-tokoh Ikhwan, Hasan Al Banna dan para penghujatnya, Sayyid Quthb dan para penghujatnya, Syaikh Muhammad Al Ghazaly dan para penghujatnya, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan para penghujatnya, Akhlak islami dalam ikhtilaf, dan Penutup.
BAB VIII
AKHLAK ISLAMI DALAM IKHTILAF
1. Ikhlas karena Alloh SWT dan Jauh dari Hawa Nafsu
Semoga Alloh SWT ridha kepada para sahabat- Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lainnya, ketika mereka rela menjadi prajurit dari seorang panglima muda belia, Usamah bin Zaid. Semoga Alloh SWT ridha kepada Khalid bin Walid- Si Pedang Alloh yang Terhunus- ketika jabatan komanda perang tiba- tiba harus diturunkan dan digantikan Abu Ubaidah. Ia dengan Ikhlas dan setia menjadi prajurit. Itulah sikap mukmin sejati.
Katakanlah, ”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh, Rabb semesta alam dan tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama- tama menyerahkan diri (kepada Alloh)” (QS Al An’am: 162- 163).
Sesungguhnya memperturutkan hawa nafsu adalah salah satu bentuk kemusyrikan. Itu sebabnya para salaf berkata, ”Ilah yang terburuk disembah di muka bumi adalah hawa nafsu” karena hawa nafsu dapat menyesatkan dari jalan kebenaran meskipun manusia mengetahui kebenaran itu dengan jelas.
Agama mulia ini mengajarkan umatnya untuk bersyukur dan berterima kasih jika ada sebagian dari tugas- tugas mereka yang diselesaikan oleh saudara seiman, saudara seperjuangan dari kalangan lain yang mampu membangkitkan umat yang tertidur dengan dakwahnya. Menampakkan kegembiraan, ikut simpati dan memberikan bantuan jika saudaranya mendapatkan kelebihan dan karunia dari Alloh. Sebaliknya, ketika mendapat musibah, fitnah, merekalah golongan pertama yang melakukan pembelaan dan tidak sekedar empati. Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah memberikan teladan yang baik ketika beliau meminta pembebasan Sayyid Quthb dari hukuman mati kepada Jamal Abdul Nashir.
Jadi, amatlah buruk jika ada sekelompok ulama menambah penganiayaan dengan celaan dan tuduhan yang tidak benar kepada para ulama yang telah teraniaya sebelumnya. Keburukan mereka bertambah jika ternyata mereka gembira dan merasa lega dengan terbunuhya ulama tersebut dan jamaahnya. Boleh jadi, para ulama yang teraniaya tersebut kini telah tenang dalam rangkulan rahmat-Nya. Mereka bergembira di sana dengan penuh keridhaan dari-Nya. Wallahu a’lam.
2. Ke-ridha-an Manusia adalah Tujuan yang Tidak Dapat Dicapai
Manusia harus menyadari, sehebat apa pun dia dan seberat apa pun usahanya untuk meraih ridha seluruh manusia, ia tidak akan mampu melakukannya. Para nabi yang jauh lebih mulia pun banyak dibenci orang, bahkan dimusuhi. Bahkan, diantara manusia ada yang memusuhi Alloh SWT. Oleh karena itu, wajib bagi manusia memberi maaf dan toleransi yang luas kepada manusia jika ia tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dari orang lain, termasuk dalam urusan ad Din.
Demikianlah kami jadikan bangsa tiap- tiap Nabi itu musuh, yaitu setan- setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan- perkataan yang indah untuk menipu manusia” (QS Al- An’am : 112).
3. Mustahil Manusia Memiliki Kesamaan Pandangan
Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi dalam tubuh umat Islam bukanlah hal yang perlu ditabukan. Kebenaran dalam agama ini bukanlah monopoli satu mazhab atau satu golongan. Perbedaan yang sifatnya variatif (ikhtilaf tanawwu’) akan memperkaya khazanah peradaban Islam yang tidak perlu dirisaukan. Adapun perbedaan yang kontradiktif/ pertentangan (ikhtilaf tadhadh) harus dijauhkan dari Islam karena itulah pangkal perpecahan. (QS Ar Rum: 22).
Perbedaan pendapat terjadi juga di kalangan sahabat Nabi SAW, para nabi, dan malaikat-Nya. Kita harus tahu bahwa tidak selayaknya kehendak dipaksakan kepada pihak lain yang berbed pendapat dengan kita seakan- akan pendapat kitalah yang paling benar dan kita dijamin masuk surga. Sikap tidak siap menghadapi perbedaan adalah sikap berbahaya yang akan menghancurkan barisan kaum muslimin.
Masalah sesungguhnya yang harus diselesaikan adalah kerapuhan aqidah, hilangnya ghirah islamiyah, dan ruhul jihadiyah, tidak mau menegakkan syariah Alloh SWT, perang sesama umat muslim, loyalitas kepada musuh Alloh, , pengusiran dan penindasan di negeri Islam, penguasaan tiran, korupsi, tindak kriminal, pemutarbalikan fakta, dekadensi moral, macetnya zakat, dan masalah utama lainnya. Jika ada seseorang yang menderita berbagai penyakit, dokter yang cerdas akan menangani penyakit yang paling mengancam keselamatan hidup si penderita.
4. Menjauhi Fanatisme Individu, Mazhab Pemikiran, atau Jamaah
Seorang dapat ikhlas kepada Alloh SWT dan berpihak kepada kebenaran sepenuhnya jika melepaskan diri dari belenggu fanatisme individu, pemikiran, dan jamaah. Jika melihat ada pihak lain lebih kuat dalilnya, ia tidak akan berlama- lama membiarkan dirinya dalam kekeliruan. Sikap fanatik dengan membela kelompok, organisasi, jamaah, atau hizb tanpa peduli pada kebenaran adalah bentuk jahiliyah.
Wahai orang- orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Alloh sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak, dan kaum kerabat. (QS An Nissa: 135)
5. Husnuzhan kepada Orang Lain
Seorang mukmin tidak pantas memuji dirinya sendiri (i’jab binafsi) dan menganggapnya bersih serta menganggap orang lain kotor. Ia memakai kaca mata hitam dalam menilai orang lain, sementara memandang diri sendiri dengan kaca mata terjernih dan terbaik. Buruk sangka merupakan akhlak buruk yang Alloh SWT kecam dalam Al- Qur’an dan dicela dalam As Sunnah. Berbaik sangka kepada Alloh SWT dan manusia adalah cabang iman terbesar.
Hai orang-orang beriman. Jauhi kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (QS Al Hujurat: 22).
Syaikh Bakr Abu Zaid telah bersikap amat simpatik terhadap Sayyid Quthb, ketika ia berkata, ”Sesungguhnya buku Al ’Adalah Al ijtima’iyah adalah buku pertama yang ia tulis ketika kembali ke pangkuan Islam”.
6. Tidak Menyakiti atau Mencela
Menyakiti sesama muslim dan mencelanya adalah perbuatan yang tidak layak dilakukan seorang muslim atas muslim lainnya. Kita harus menghargai hasil jerih payah orang lain yang berupaya mencari kebenaran sekuat tenaga, walau akhirnya ia tidak mendapatkan, bahkan mendapati kesalahan.
Alloh tidak menyukai jika ucapan su’ (buruk) dilakukan secara jahr (terang), kecuali bagi orang yang dizalimi. Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An Nisaa: 148).
7. Membangun Kesadaran Bersama
Kesadaran, itulah kata kunci terakhir. Umat Islam harus menyadari, saat ini musuh mereka dari kalangan kafirin, munafikin, mulhidin, dan musyrikin senantiasa menyerang mereka dari berbagai sisi, waktu, dan generasi. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadai bahwa saudara seiman bukanlah musuh. Saudara seaqidah harus dijaga kehormatannya. Perpecahan adalah laknat dan persatuan adalah wajib, mengajak umat Islam merapatkan barisan, memperkokoh iman, atau memperkuat keyakinan merupakan tindakan yang sangat terpuji dan layak diikuti.
BAB IX
PENUTUP
Sadarilah ketika seseorang atau jamaah divonis kafir, maka telah halal darah, harta, dan kehormatannya, tidak boleh diwarisi, dan tidak berhak mendapat fa’I atau ghanimah. Ulama yang mendalam ilmunya amat memahami ini, karena itu mereka sangat hati- hati dalam hal ini. Ucapan bernuansa takfir sebagian tokoh salafiyah terhadap tokoh ulama Ikhwan yang telah mendapat tempat dihati mayoritas kaum muslimin, tetap dinilai sebuah sikap yang amat disayangkan dan tidak pantas terjadi serta tidak layak dilanjutkan. Sayangnya, mereka belum melakukan pemastian/ klarifikasi (tatsabbut). Adapun bagi mereka yang telah wafat, maka Alloh ’Azza wa Jalla tempat kembalinya segala urusan. Syaikh Muqbil bin Hadi yang telah berkata, ” Wahai Qaradhawy engkau telah kufur, atau mendekati kekufuran !”, ia telah wafat. Syaikh Ibnu Utsaimin yang berkata, ”Jika ia (Al Qaradhawy) tidak (bertobat), maka wajib bagi pemerintahan Islam untuk memenggal lehernya”, ia juga telah wafat. Mudah- mudahan Alloh memaafkan kekhilafan kita semua.
Sedangkan Syaikh Rabi’ bin Hadi yang telah menuduh Sayyid Quthb berfaham wihdatul wujud, menganggap Al Qur’an adalah makhluk, mendukung komunis, sosialis, wihdatul adyan, dan tuduhan bernuansa takfir lainnya, ia masih Alloh panjangkan usianya. Mudah- mudahan ini bisa dimanfaatkan untuk kembali menelaah apa- apa yang dituduhkannya terhadap Sayyid Quthb. Apalagi setelah ia mendapat nasihat dan bantahan dari Syaikh Bakr Abu Zaid, tokoh senior ulama salafi. Namun sayangnya, sebagaimana yang telah kami baca dalam buku terbaru mereka di negeri ini, Hasan Al Banna Seorang Teroris ? Ternyata nasihat Syaikh Bakr Abu Zaid itu- wallahu a’lam- juga dibantah oleh Syaikh Rabi.
1. Zona Khilafiyah Bukan Zona Kemungkaran
Tema- tema yang menjadi perselisihan ulama baik dahulu maupun sekarang bukanlah alasan keluarnya fatwa kafir. Sungguh perbedaan fiqh kalangan Hanafiyah dengan Syafi’iyah amatlah banyak dan jauh tetapi mereka tidak saling mengkafirkan, kecuali sedikit diantara mereka yang fanatik. Begitu pula perbedaan terhadap Asma was Sifat Alloh, diantara ulama ada yang mengikuti salaf yaitu menetapkan Asma was Sifat tanpa ta’wil, tahrif, ta’thil, takyif, dan tasybih. Ada pula kalangan yang mengikuti pemahaman Asy’ariyah yang memberikan takwil dengan tujuan menjaga kesucian Asma was Sifat tersebut dari penakwilan orang- orang bodoh. Sungguh Asy’ariyah pun bagian dari Ahlus Sunnah.
2. Kelembutan dan Ketegasan Terhadap Penyimpangan Manusia
Penyimpangan manusia memiliki bobot masing- masing. Alloh ’Azza wa jalla menyikapi mereka dengan penamaan yang berbeda sebagai petunjuk perbedaan kualitas penyimpangan manusia seperti musyrikin, kafirin, fasiqin, zhalimin, mujrimin, mu’tadin, musrifin, dan lainnya. Alloh berikan dosa sesuai level masing- masing dari mereka.
Kaum mujrimin (berdosa) diantara mereka ada yang sekedar dosanya kecil (dosa memandang wajah non mahram dengan syahwat, nyontek) yang bisa dihilangkan dengan istighfar, shalat, wudhu, dzikir. Adapun dosa besar (Al Kaba’ir) yang bisa menyeret pelakunya menjadi fasiq bahkan fakir, seperti qauluzzur (sumpah/ saksi palsu), zina, riba, memakan harta anak yatim, sababul mu’min (mencaci maki mukmin), mendatangi istri dari dubur, membunuh, percaya kepada perdukunan, jimat, tatahyur, menganggap kekuasaan tertinggi di tangan manusia, undang- undang selain Alloh, dan segala kesyirikan lainnya.
Para mubtadi’ (pelaku bid’ah) juga berbeda- beda, dilihat dari dua sisi yaitu latar belakang pelaku dan jenis bid’ah. Bila pelaku dari kalangan awam terhadap agama maka ia tidak bisa disebut ahli bid’ah sebab ia hanya seorang muqallid, ikut- ikutan tanpa ilmu, walau dosa bid’ah tetap melekat pada dirinya. Sedangkan bila pelaku bid’ah orang yang sudah mengerti agama, baik pokok atau cabang dan ia memanipulasi ilmu yang dimilikinya sesuai selera hawa nafsu, maka ia layak disebut mubtadi’ (ahli bid’ah).
Begitupun jenis bid’ah ada yang diperselisihkan dan disepakati status bid’ahnya. Bid’ah yang kadarnya kecil seperti bid’ah dalam ibadah yang ditambah- tambahkan (jangan dianggap sepele). Bid’ah dengan kadar besar bahkan kafir, seperti bid’ah dalam aqidah yaitu dengan lahirnya Murji’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan lainnya. Kondisi- kondisi ini harus membentuk sikap adil dan bijak dalam menangani itu semua. Sesungguhnya setiap permasalahan memiliki kadarnya, mengetahui hal ini amat penting agar bisa mencari cara yang paling tepat, proporsional, dan efektif.
3. Kapan Takfir Dibenarkan ?
Telah menjadi kesepakatan para ulama untuk tidak mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali jika ia menentang dan mengingkari ajaran- ajaran tauhid, nubuwah, kebangkitan pada hari kiamat, Rasululloh SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, surga, neraka, hisab, jaza (balasan amal), dan lainnya atau ia sendiri secara terang- terangan menyatakan dengan sadar keluar dari Islam.
Namun demikian tidak setiap orang berhak mengeluarkan ’vonis’ kafir, walau telah jelas indikasi kekafiran pada diri seseorang. Hal ini hanya dibenarkan bagi lembaga ulama atau seorang ulama yang keluasan ilmunya, wara’, taqwa, dan objektifitasnya diakui.
4. Teladan Salaf dalam Masalah Ini
Ali bin Abi Thalib dan Saad bin Abi Waqqash tidak mengkafirkan Khawarij dan ketika Ali ra ditanya, ”Mereka adalah kaum yang ditimpa fitnah, lalu menjadi bisu, buta, dan tuli”. Kaum Mu’tazilah juga tidak dikafirkan, yaitu yang masih menerima hadits mutawatir. Syiah juga demikian, syiah Zaidi dan Ja’fari yang menghormati sahabat nabi dan Al Qur’an yang dipakai sama dengan Sunni. Kecuali Syiah Ghalliyah yang telah mengkultuskan Ali dan kaum rafidhah yang mengkafirkan sahabat rasul dan me-ma’shum-kan Imam mereka, merekalah yang dikafirkan oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Zur’ah.
5. Tahzir Nabawi (Peringatan Nabawi)
”Siapa saja yang mengkafirkan seorang muslim, ucapan itu akan menimpa salah satu diantara keduanya” (HR Muttafaq ’Alaih)
”Ada tiga hal yang merupakan asal keimanan, yakni menahan diri dari orang yang bersaksi ’laa ilaha illallah’ dengan tidak mengkafirkannya karena suatu dosa dan tidak mengeluarkannya dari Islam karena perbuatannya. Bahwa jihad itu ada sejak aku dibangkitkan dan akan terus ada sampai umatku yang terakhir memerangi dajjal, jihad itu tidak dibatalkan oleh kezaliman seorang zalim ataupun keadilan orang yang adil. Iman terhadap Qadar” (HR Abu Daud dari Anas ra).
(2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar