Oleh : Anna Fauzia
Hamsyah, S.Si *
“Cara
Terbaik Memprediksi Masa Depan adalah dengan Menciptakan Masa Depan” (Peter
Drucker)
Pesta rakyat
di negeri ini tinggal menunggu hitungan minggu dan hari, fenomena yang cukup
biasa menjelang agenda pemilu, baliho-baliho dan poster-poster caleg terpasang
hampir di setiap tempat, sudut, pelosok kota sampai desa. Poster-poster ini
tidak hanya manis berdiam diri di suatu tempat, tapi ada juga yang hilir
mudik di kendaraan-kendaraan. Iklan-iklan politik di televisi pun tak kalah
ramai menawarkan jargon, jagoan, jasa, dan janji program-program perbaikan
bangsa.
Fakta di
lapangan yang membuat kita mengurut dada adalah praktek-praktek money
politic yang dilakukan oleh hampir semua caleg untuk memuluskan jalannya
mendapatkan kursi lembaga kehormatan, ya mencoba untuk menarik simpati rakyat
Indonesia, berusaha menggaet hati mereka dengan beberapa lembar rupiah merah,
hijau, biru. Fakta lain yang bisa dilihat adalah setelah ditetapkannya pemilu
dengan sistem distrik, setiap caleg mempunyai peluang yang sama untuk
mendapatkan kursi kehormatan, asalkan sang caleg ini mau turun langsung ke
masyarakat mencari basis pemilih yang dengan kesadaran atau sedikit jalan
pelancar mau memilihnya. Ada hal yang cukup menggelitik, karena di beberapa
partai ada beberapa calegnya yang bersaing dengan tidak sehat. Bahkan ada
selebaran-selebaran dan isu-isu yang tidak bertanggung jawab yang ditujukan
untuk menurunkan citra partai yang satu dengan yang lainnya.
Sejenak mari
kita berefleksi, apakah pesta rakyat ini hanya sekedar ajang memamerkan
poster-poster dan baliho ? Seberapa efektif poster-poster yang terpajang ini mempengaruhi
kecenderungan pilihan masyarakat ? jangan-jangan karena saking banyaknya poster
dengan berbagai pose, masyarakat malah semakin bingung. Pertanyaan mendasar
adalah seberapa banyak rupiah yang dikeluarkan oleh para calon-calon wakil
rakyat ini untuk memuluskan jalannya menuju kursi kekuasaan ? Kita berdoa
semoga rakyat Indonesia sudah semakin cerdas, sehingga hati nurani dan hak
pilih mereka tidak terbeli hanya dengan beberapa lembar rupiah. Bukankah akan
sangat mahal harga yang harus ditebus ketika kita berani menggadaikan nasib
bangsa ini hanya dengan beberapa lembar rupiah ataupun bahkan sampai
bermilyar-triliun. Bagaimana nasib bangsa ini kedepannya, ketika nurani kita
dengan mudah terbeli dengan lembaran rupiah ?
Fenomena-fenomena
yang kita lihat menjelang pemilu 2009 ini cukup disayangkan kalau kita lewatkan
begitu saja. Walaupun disisi lain, nuansa demokratis dengan banyaknya partai
politik peserta pemilu (44 partai) menunjukan semakin kondusifnya kebebasan
untuk berserikat dan berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat dan menyalurkan
aspirasi. Pemilihan para wakil rakyat pun tidak seperti memilih kucing dalam
karung, minimal masyarakat mengetahui bagaimana track record, kapasitas,
dan kapabilitas wakil rakyat yang akan dipilihnya.
Pemilu 2009
adalah momentum yang sangat strategis untuk menentukan perjalanan bangsa dan
Negara Indonesia ke depan. Pemilu 2009 ini akan menentukan momentum pembangunan
bangsa selama lima tahun ke depan. Momentum untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang akan menentukan arah kebijakan bangsa ini, momentum untuk memilih seorang
pemimpin bangsa yang akan menjadi icon seperti apakah karakteristik
rakyat yang tengah dipimpinnya.
Pemilu 2009
akan menentukan kepemimpinan Indonesia selama 5 tahun ke depan, yang merupakan
estafeta perjuangan dari para founding fathers yang tidak boleh
terputus. Momentum pemilu ini adalah momentum regenerasi kepemimpinan yang
memang harus diuji kualitasnya. KAMMI secara khusus, melihat bahwa kepemimpinan
adalah aspek yang strategis dalam melakukan perbaikan-perbaikan bangsa ini,
karena pemimpin adalah cermin dari rakyatnya. KAMMI sesuai dengan
prinsip gerakannya “Kebatilan adalah musuh abadi KAMMI”, “Perbaikan adalah
tradisi perjuangan KAMMI” akan sangat memberikan apresiasi yang sangat positif
kepada para calon pemimpin bangsa dan wakil rakyat yang mempunyai nurani,
spirit, dan jiwa untuk membangun Indonesia lebih baik. Para pemimpin dan wakil
rakyat yang tidak mempunyai ambisi kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi
atau golongannya saja. Para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak menghamburkan
rupiahnya dengan cuma-cuma hanya untuk membujuk-rayu rakyat agar memilihnya.
Para pemimpin dan wakil rakyat yang mampu merangkul semua elemen masyarakat dan
pro perbaikan, tidak menjadi budak dari bangsa lain. Para pemimpin dan wakil
rakyat yang tidak segan untuk terjun langsung dan duduk bersama masyarakat. Dalam
hal ini, KAMMI akan menilai kepemimpinan pada tiga aspek. Pertama aspek personal
yang mencakup pengalaman, track record, dan kredibilitas (moral,
intelektual, dan sosial politik). Kedua aspek kebijakan yang mencakup
prioritas, popularitas, dampak jangka pendek dan jangka panjang. Ketiga aspek relasi
pemimpin yang mengindikasikan apakah ia memiliki jaringan yang elegan dalam
memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan, keummatan, dan kedaerahan. Apakah ia
berpihak pada Indonesia ataukah musuh Indonesia.
Dr. Muhammad Imarah; pemikir Islam dari Mesir
dalam bukunya ‘Manilladzi Yughayyibu Al-Munkar Wa Kaifa,’ (siapa dan
bagaimana menghapus kemungkaran), menganalogikan pemimpin dengan seorang
dokter. Jika kesalahan fatal yang dilakukan dokter bisa mengakibatkan salah
satu atau lebih dari pasiennya meninggal, maka kesalahan yang dilakukan
pemimpin bukan hanya satu atau dua, tapi seluruh bangsa dan masyarakat menjadi
korban.
Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin maupun wakil
rakyat menjadi harga mahal bagi masyarakat. Fakta membuktikan, pembalakan hutan
secara ilegal tanpa ada tindak hukum yang tegas menjadi tragedi yang suatu saat
bisa mengancam kelangsungan hidup manusia. Penjualan aset dan kekayaan negara
yang dilakukan para pejabat dan birokrat berjiwa korporat menyisakan nestapa
bagi bangsa. Pencurian uang rakyat milyaran rupiah meninggalkan benih dendam di
hati masyarakat. Dan ratusan kasus lainnya yang tidak mungkin dihentikan dengan
kutukan atau kecaman belaka.
Secara global,
mari kita melihat peran yang bisa kita lakukan, sebagai seorang mahasiswa,
pemuda atau elemen bangsa ini dalam menyikapi pemilu 2009, karena amanah
kepemimpinan ini bukanlah amanah biasa yang hanya dipikul oleh orang-orang
biasa-biasa saja, tapi amanah kepemimpinan yang dipundak merekalah nasib ± 200
juta rakyat Indonesia akan ditentukan (akankah lebih baik atau sebaliknya). Amanah
kepemimpinan yang bisa menjadi pelayan dan pengabdi masyarakat,
bukan menjadi “tuan” bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, mari kita
berpikir ulang ketika mau memilih para pemimpin dan wakil rakyat yang hanya
menggunakan kekuatan rupiah untuk membeli rakyatnya (tipikal seperti ini akan
berpikir bagaimana caranya untuk balik modal, pemimpin berjiwa kerdil dan
pengecut, pemimpin yang berpotensi sangat besar untuk melakukan korupsi,
kolusi, nepotisme). Pemimpin dan wakil rakyat yang gontok-gontokan dan ribut di
internal mereka, padahal mereka belum terpilih. Bagaimana kemudian bisa
memimpin bangsa ini yang begitu heterogen, sedangkan secara internal sendiri
belum solid.
Pertama,
yang bisa kita lakukan adalah melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
awam di sekitar kita terutama tentang sosialisasi mekanisme Pemilu 2009 yang
bersih, jujur, dan adil. Kedua menyerukan kepada masyarakat agar
menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009 ini (karena satu suara akan sangat
menentukan nasib bangsa ini). Ketiga berperan aktif dalam proses
pemantauan pemilu untuk meminimalisir praktek-praktek tidak sehat yang
dilakukan oleh oknum tertentu. Jangan
pernah menyerah dengan realita. Karena arus perubahan senantiasa dikobarkan
walau dengan tertatih-tatih. Hak pilih kita saat ini, akan sangat
menentukan seperti apa Bangsa dan Negara Indonesia ke depan.
Referensi :
1.
Rijalul Imam. 2008. Makalah Tafsir Epistemik Prinsip
Perjuangan KAMMI. DM 3 Solo.
2.
M Redha Helmi. 2009. Pemilu 2009 Perang Iklan Politik. www.kammi.or.id
3.
Husammudin MZ. 2009. Pemilu dan Aroma Perubahan. www.eramuslim.com
4.
Rijalul Imam. 2008. Menyiapkan Momentum : Refleksi
Paradigmatis Pemikiran Gerakan Pemuda untuk Membangun Bangsa. Muda Cendikia,
Bandung.
5.
Abdul Badi’ Shaqar. 1994. Kepemimpinan Islami. Pustaka
Progresif, Surabaya.
*Dalam arsip pada penerbitan Koran Pemilu 2009, KAMMI Daerah Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar